Diari Charles Roring

alam dan pikiran

Hukum Kehidupan

oleh Jack London

diterjemahkan oleh Charles Roring

Si tua Indian itu duduk di atas salju. Dialah Koskoosh, mantan kepala suku. Sekarang, ia hanya bisa duduk dan mendengar orang lain. Matanya rabun dan dia tidak bisa melihat. Tapi telinganya membuka lebar mendengar setiap suara.

“Aha.’ Itu suara anak perempuannya, Sit-cum-to-ha. Dia sedang memukul anjing-anjing, mencoba mengatur mereka berdiri di depan kereta luncur. Dia telah dilupakan oleh anak perempuannya itu, dan oleh yang lainnya juga. Mereka harus mencari tempat berburu yang baru. Perjalanan yang panjang dan bersalju menanti mereka. Dan hari-hari daratan utara bertambah pendek. Suku itu tidak bisa menanti kematian. Dan Koskoosh sedang sekarat.

Kaku, suara-suara meretih kulit binatang yang membeku memberitahunya bahwa tenda kepala suku sedang dibongkar. Kepala suku itu adalah seorang pemburu yang perkasa. Dia adalah anaknya, anak laki-laki Koskoosh. Dan Koskoosh sedang ditinggal mati.

Saat para wanita sedang bekerja, Koskoosh tua dapat mendengar suara anak laki-lakinya itu memerintahkan mereka agar bekerja lebih cepat. Dia berusaha mendengar. Itu terakhir kalinya dia mendengar suara mereka. Seorang anak kecil menangis, dan seorang wanita menyanyi lembut menenangkannya. Anak kecil ini bernama Koo-tee, pikir si tua itu, anak kecil yang sedang sakit. Dia segera akan meninggal, dan mereka akan membakar sebuah lobang di tanah yang beku untuk menguburnya. Mereka akan menutup tubuhnya yang kecil itu dengan batu-batu guna menjauhkan serigala-serigala.

“Begitulah, apa maknanya? Beberapa tahun, dan akhirnya, kematian.

Kematian menanti setiap kelaparan. Kematian menguasai semua perut yang lapar.”

Koskoosh mendengar suara-suara yang lain, yang tidak akan lagi ia dengar: para lelaki mengikat tali kulit yang kuat mengitari kereta luncur untuk menahan barang-barang kepunyaan mereka; suara hentakan cambuk kulit, memerintahkan anjing-anjing supaya bergerak dan menarik kereta luncur.

“Dengar teriakan anjing-anjing. Bagaimana mereka membenci pekerjaan itu.”

Mereka berangkat. Kereta luncur demi kereta luncur bergerak perlahan-lahan menembus kesunyian. Mereka berlalu dari kehidupannya, dan dia harus menemui saat-saat ajalnya sendirian.

“Tetapi apa itu?” Salju yang remuk di bawah sepatu seseorang. Seorang pria berdiri di sampingnya, dan menaruh tangannya dengan lembut di kepala si tua itu. Anak laki-lakinya baik karena melakukan hal ini. Dia ingat orang-orang tua lainnya yang anak-anaknya tidak melakukan hal ini, melainkan pergi tanpa mengucapkan selamat tinggal.

Pikirannya berjalan ke masa lampau sampai suara anak laki-lakinya membawa dia kembali. “Kamu baik-baik saja?” tanya anaknya. Dan si tua itu menjawab, “baik.”

“Ada kayu di sampingmu dan api menyala terang,” kata anaknya. “Pagi nampak abu-abu dan dingin di sini.” Salju akan segera turun. Bahkan sekarang sedang hujan salju.”

“Orang-orang suku itu bergegas-gegas. Muatan mereka berat dan perut mereka rata akibat kekurangan makanan. Perjalanannya panjang dan mereka bergerak cepat. Aku pergi sekarang. Semua baik-baik saja?”

“Baik-baik saja. Aku bagaikan sehelai daun terakhir tahun lalu yang menempel pada sebuah pohon. Tiupan angin pertama akan merobohkan aku ke tanah. Suaraku mirip suara seorang wanita tua. Mataku tak dapat lagi menunjukkan arah ke mana kakiku melangkah. Aku lelah dan segalanya baik-baik saja.”

Dia menundukkan kepalanya ke dadanya dan mendengar salju saat anak laki-lakinya itu berlalu dengan kereta luncur. Dia meraba potongan-potongan kayu yang ada di sampingnya lagi. Satu per satu, api akan memakan mereka sampai habis. Dan perlahan-lahan, kematian akan menjemputnya. Ketika potongan kayu terakhir habis, dingin akan datang. Pertama-tama kakinya akan membeku. Kemudian, tangan-tangannya. Dingin itu akan menjalar perlahan-lahan dari luar ke dalam dirinya, dan dia akan beristirahat. Semudah itu… semua orang harus mati.

Dia merasa sedih, tetapi dia tidak memikirkan kesedihannya. Itulah hukum kehidupan. Dia telah hidup dekat dengan alam, dan hukum itu bukanlah hal yang baru baginya. Itu adalah hukum daging. Alam tidak bersahabat dengan daging. Alam tidak kasihan terhadap seseorang yang sendirian. Dia hanya tertarik pada kelompok, pada ras, pada spesies.

Ini adalah pemikiran yang dalam buat Koskoosh tua. Dia telah melihat contoh-contoh itu pada keseluruhan masa hidupnya. Getah pohon di awal musim semi; daun hijau yang baru bertunas, lembut dan segar seperti kulit; gugurnya daun kering, yang telah menguning. Semua ini adalah sejarah.

Dia meletakkan sepotong kayu di perapian dan mulai mengingat masa lalunya. Dulu dia adalah seorang kepala suku yang gagah perkasa. Dia telah menyaksikan hari-hari di mana ada banyak makanan dan tawa; perut-perut yang kelaparan ketika makanan dibiarkan membusuk; saat-saat ketika mereka membiarkan hewan-hewan, tak terbunuh; dan hari-hari ketika para wanita memiliki banyak anak. Dan dia telah melihat hari-hari di kala tak ada makanan dan perut-perut yang kelaparan, hari-hari di kala ikan tidak datang, dan binatang-binatang sulit dicari.

Selama tujuh tahun binatang tidak datang. Dan kemudian, dia ingat ketika masih seorang anak laki-laki yang kecil menyaksikan serigala membunuh seekor rusa besar. Dia bersama kawannya Zing-ha, yang nantinya terbunuh di Sungai Yukon.

Ah, tetapi rusa besar itu. Zing-ha dan dia telah pergi bermain di siang itu. Di dekat sungai mereka melihat jejak-jejak seekor rusa moose besar yang masih baru. “Rusa itu sudah tua,” kata Zing-ha. “Rusa itu tidak bisa berlari secepat lainnya, dan dia tertinggal di belakang.

Serigala-serigala telah memisahkannya dari kawanannya, dan mereka tidak akan pernah meninggalkan dia.”

Dan itulah yang terjadi. Dari siang hingga malam, menggigit hidung, menggigit kaki, serigala-serigala tetap bersama rusa itu hingga kematiannya.

Zing-ha dan dia merasakan darah mengalir cepat dalam tubuh mereka. Ajal adalah pemandangan yang akan dilihat.

Mereka telah mengikuti jejak-jejak rusa moose dan serigala-serigala itu. Setiap langkah memiliki ceritanya sendiri-sendiri. Mereka dapat melihat bagaimana tragedi itu terjadi: di sinilah tempat rusa moose itu berhenti melawan. Salju menjadi rata oleh banyaknya injakkan kaki. Satu serigala telah ditendang mati oleh kaki rusa moose yang berat. Selanjutnya, mereka menyaksikan bagaimana moose berjuang melarikan diri ke sebuah bukit. Moose jatuh menimpa dua ekor serigala. Namun jelas ajalnya semakin dekat.

Salju berwarna merah di hadapan mereka. Kemudian mereka mendengar suara-suara pertempuran. Bukan lolongan panjang serigala yang jelas, semua menggonggong bersama, tapi ributnya kertakan gigi saat mereka mengunyah daging.

Dia dan Zing-ha mendekat, sambil tiarap, sehingga serigala tak dapat melihat mereka. Mereka melihat ajal. Dan gambar itu nampak begitu kuat sehingga tetap segar dalam benaknya seumur hidupnya. Matanya yang rabun, buta melihat ajal itu lagi sama seperti yang telah disaksikan di masa lalu.

Lama, pikirannya menyaksikan masa lalunya itu. Api mulai mengecil, dan dingin mulai merambati tubuhnya. Dia menaruh dua potong kayu lagi di atas perapian, tinggal dua potong yang tersisa. Ini sama dengan seberapa lama dia akan hidup.

Dia begitu sendirian. Dia menempatkan satu dari potongan-potongan kayu yang terakhir di perapian. Dengar, suara gemericik aneh kayu yang sedang terbakar. Bukan itu bukan suara kayu. Dan tubuhnya gemetar karena dia mengenal suara itu… serigala.

Lolongan seekor serigala mengembalikan gambar rusa moose yang tua itu ke dalam benaknya lagi. Dia melihat tubuh rusa itu tercabik-cabik, dengan darah yang segar mengalir di atas salju. Dia melihat tulang-tulang bersih yang berwarna abu-abu tergeletak kontras dengan darah yang membeku. Dia melihat sekawanan serigala abu-abu yang tergesa-gesa, dengan mata mereka yang bernyala-nyala, lidah mereka panjang membasah dan gigi-gigi yang tajam. Dan dia melihat mereka membentuk sebuah lingkaran yang mendekat perlahan-lahan.

Hidung yang basah dan dingin menyentuh wajahnya. Ketika tersentuh, jiwanya terkejut membangunkan dia. Tangannya meraba-raba perapian dan dia menarik sepotong kayu yang sedang terbakar. Serigala melihat api itu tetapi ia tak gentar. Ia berbalik dan berteriak ke udara, kepada saudara-saudaranya serigala yang lain. Mereka menjawab dengan tenggorokan mereka yang lapar kemudian datang sambil berlari.

Si tua Indian mendengar serigala-serigala lapar. Dia mendengar mereka membentuk sebuah lingkaran di sekelilingnya dan perapiannya yang mengecil. Dia mengayun-ayunkan potongan kayu yang sedang terbakar itu kepada mereka, tetapi mereka tidak beranjak pergi. Sekarang satu dari mereka mendekat, perlahan, seakan-akan hendak menguji kekuatan si tua itu. Seekor demi seekor mendekat pula. Lingkaran itu semakin kecil. Tak satu pun serigala yang tertinggal di belakang.

Mengapa harus dia melawan? Mengapa terus berpegang pada kehidupan? Dan dia menjatuhkan potongan kayu yang menyala-nyala itu pada akhirnya. Kayu itu jatuh di atas salju dan apinya mati.

Lingkaran serigala bergerak semakin dekat. Dan sekali lagi si tua Indian ini melihat gambar moose yang berjuang hingga akhir hayatnya. Dia menundukkan kepalanya ke lututnya. Lagi pula apa yang harus dipersoalkan? Bukankah ini adalah hukum kehidupan?

Juni 27, 2009 - Posted by | Cerita Pendek | ,

Belum ada komentar.

Tinggalkan komentar